Enggaktau.com – Belakangan ini publik ramai memperdebatkan soal pajak mobil di Indonesia, khususnya perbedaan besar antara pajak mobil biasa (BBM) dengan mobil listrik (EV). Banyak yang mendukung kebijakan insentif untuk mobil listrik, tapi tak sedikit pula yang mengkritiknya.
Artikel ini akan membahas secara lengkap kenapa pajak mobil listrik bisa jauh lebih murah dibanding mobil bensin, apa saja pro dan kontranya, hingga perbandingan dengan negara lain.
Daftar Isi
-
Dasar Pajak Kendaraan di Indonesia
-
Pajak Mobil Biasa (BBM)
-
Pajak Mobil Listrik (EV)
-
Kenapa Pajak Mobil Listrik Lebih Murah?
-
Pro dan Kontra di Masyarakat
-
Perbandingan dengan Negara Lain
-
Kesimpulan
Dasar Pajak Kendaraan di Indonesia
Di Indonesia, pajak kendaraan bermotor umumnya terdiri dari:
-
PKB (Pajak Kendaraan Bermotor): dibayar tahunan.
-
BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor): dibayar saat beli kendaraan baru/second.
-
PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah): berlaku untuk mobil baru, berbeda-beda tergantung jenis.
-
Pajak Progresif: berlaku jika seseorang punya lebih dari satu kendaraan.
Pajak Mobil Biasa (BBM)
-
PKB mobil bensin/diesel: sekitar 1,5% dari NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor).
-
BBNKB: rata-rata 10–12,5% dari harga mobil.
-
PPnBM: bervariasi, biasanya 10–125% tergantung kapasitas mesin & emisi.
-
Pajak progresif: bisa naik hingga 2–10% untuk kendaraan kedua, ketiga, dst.
👉 Contoh: Mobil bensin dengan NJKB Rp300 juta → PKB tahunan sekitar Rp4,5 juta.
Pajak Mobil Listrik (EV)
-
PKB & BBNKB: di banyak daerah mendapat potongan hingga 90% (misalnya di DKI Jakarta).
-
PPnBM: 0% (sesuai Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2021).
-
Tidak ada pajak progresif seperti mobil BBM.
👉 Contoh: Mobil listrik dengan NJKB Rp600 juta → PKB tahunan bisa hanya Rp1–2 juta.
Kenapa Pajak Mobil Listrik Lebih Murah?
-
Mendorong adopsi EV: Pemerintah ingin mempercepat peralihan ke kendaraan ramah lingkungan.
-
Mengurangi polusi udara: Terutama di kota besar seperti Jakarta.
-
Mengurangi impor BBM: Indonesia masih mengimpor BBM dalam jumlah besar.
-
Daya tarik investasi: Insentif pajak bikin produsen EV mau buka pabrik di Indonesia.
Pro dan Kontra di Masyarakat
Pro (setuju insentif EV):
-
Akselerasi menuju net zero 2060.
-
Teknologi baru lebih cepat diterima masyarakat.
-
Menarik investor otomotif global.
Kontra (kritik kebijakan):
-
Tidak adil: EV mayoritas masih mahal (Rp600 juta – Rp1 miliar), jadi yang menikmati orang kaya.
-
Membebani masyarakat kecil: Pajak mobil BBM tetap tinggi padahal itu kendaraan yang lebih terjangkau.
-
Infrastruktur minim: Stasiun charging masih terbatas, sehingga EV belum bisa dipakai nyaman di semua daerah.
Perbandingan dengan Negara Lain
-
Norwegia: Pajak EV dihapus total + bebas tol & parkir → penetrasi EV >80%.
-
Singapura: Ada pajak tinggi & sistem COE → harga mobil bisa 3–4 kali lipat, tapi EV tetap diberi insentif.
-
Thailand: Memberikan subsidi langsung & potongan pajak, sehingga EV jadi lebih terjangkau.
-
Amerika Serikat: Ada tax credit sampai USD 7.500 untuk pembelian EV.
👉 Dibanding negara lain, insentif EV di Indonesia besar, tapi harga EV tetap mahal sehingga terasa timpang.
Kesimpulan
Perbedaan pajak mobil biasa dan mobil listrik di Indonesia memang sangat signifikan. Mobil listrik lebih murah pajaknya, karena pemerintah ingin mendorong transisi energi.
Namun, kritik bahwa insentif ini lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas juga tidak bisa diabaikan. Solusi jangka panjang mungkin bukan hanya soal insentif pajak, tapi juga bagaimana membuat mobil listrik lebih terjangkau dan infrastrukturnya lebih siap.
