Jakarta, 16 Desember – Pernyataan menarik disampaikan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) bahwa kegiatan prostitusi secara teoritis bisa dikenakan pajak, selama memenuhi syarat tertentu. Hal ini mengacu pada prinsip dasar perpajakan di mana setiap penghasilan, apa pun bentuknya, dapat menjadi objek pajak.
Prostitusi Bisa Dikenai Pajak, Asalkan…
Menurut Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, pajak dapat dikenakan pada prostitusi jika kegiatan tersebut menghasilkan penghasilan yang terbukti dan terdata secara sah.
“Pajak prostitusi itu bisa ditarik, ranah perjudian misalnya, itu juga bisa ditarik. Karena dari Undang-Undang perpajakan yang dikenakan sebagai pajak itu akan dilihat dulu apakah ada subjeknya atau objeknya,” ujar Mekar di Jakarta (Rabu, 16/12).
Artinya, jika seseorang yang terlibat dalam kegiatan prostitusi dapat diidentifikasi sebagai subjek pajak (orang pribadi atau badan), dan kegiatan tersebut menghasilkan penghasilan, maka secara teori mereka wajib melaporkan dan membayar pajak atas penghasilan tersebut.
Pentingnya Data dan Bukti Valid
Meskipun secara prinsip bisa dikenai pajak, Ditjen Pajak menegaskan bahwa diperlukan data yang valid untuk dapat mengenakan pajak atas kegiatan prostitusi. Salah satunya adalah dengan menelusuri aliran dana melalui rekening bank.
“Apalagi kalau nanti kami masuk ke rahasia perbankan, oh dibayar melalui transfer bank. Kami tanya pada artis yang bersangkutan, uang ini dari mana? Oh ini penghasilan. Jadi secara teoritis itu bisa dikenakan perpajakan,” lanjutnya.
Dalam praktiknya, Ditjen Pajak tetap harus mematuhi ketentuan kerahasiaan perbankan dan memiliki dasar hukum yang kuat untuk menelusuri transaksi yang mencurigakan.
Apa Dasar Hukumnya?
Dasar hukum mengenai pajak penghasilan diatur dalam:
-
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
-
UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) yang berlaku sejak 2022
-
Ketentuan umum bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik dari Indonesia maupun luar negeri, yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan, wajib dikenai pajak.
Bagaimana dengan Aktivitas Ilegal?
Hal yang sering menjadi pertanyaan adalah: bisakah aktivitas ilegal dikenai pajak? Jawabannya: bisa. Dalam sistem pajak di banyak negara, termasuk Indonesia, legalitas kegiatan tidak menghapus kewajiban perpajakan.
Sebagai contoh, penghasilan dari perjudian, meskipun tidak dilegalkan secara umum di Indonesia, tetap bisa dikenai pajak jika terbukti memberikan penghasilan.
Di Amerika Serikat, misalnya, bahkan penghasilan dari penjualan narkoba ilegal atau prostitusi (di negara bagian yang belum melegalkannya) tetap dilaporkan sebagai penghasilan dan dikenai pajak. Jika tidak, pelaku bisa dikenakan pidana penghindaran pajak.
Tantangan dan Realita di Lapangan
Walaupun sah secara teori, penerapan pajak pada prostitusi memiliki tantangan besar, antara lain:
-
Tidak adanya legalitas kegiatan prostitusi di sebagian besar wilayah Indonesia
-
Sulitnya mengakses data penghasilan dari kegiatan ilegal atau tidak tercatat
-
Hambatan dalam penegakan hukum karena keterkaitan dengan isu sosial dan moral
Penerimaan Pajak Tetap Tumbuh
Terlepas dari wacana ini, Ditjen Pajak menyatakan bahwa pertumbuhan penerimaan pajak Indonesia dalam lima tahun terakhir masih lebih baik dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional, meskipun target penerimaan belum sepenuhnya tercapai.
Ini menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki banyak potensi sumber penerimaan pajak, baik dari sektor formal maupun informal, tanpa harus bergantung pada legalisasi atau penarikan pajak dari prostitusi.
Kesimpulan
Prostitusi bisa dikenai pajak secara teori, asalkan memenuhi syarat sebagai subjek dan objek pajak yang sah. Namun, tantangan terbesar adalah pada aspek legalitas, validitas data, dan penegakan hukum. Pemerintah tetap fokus pada peningkatan kepatuhan pajak dari sektor-sektor legal dan terdokumentasi.
📌 Untuk informasi resmi perpajakan, kunjungi situs Direktorat Jenderal Pajak – Kementerian Keuangan